Belajar Hidup Santai


Diberdayakan oleh Blogger.
Sebagian Artikel di Blog ini adalah Milik Teman-Teman Bloger, Mohon Maaf Jika Link tidak Disertakan

Senin, 02 Mei 2011

Langit Malam

   Detak yang lamban. Seperti kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan diri ke dalam malam. Berjalan di atas lintasan trotoar yang menenggelamkanku ke ruang-ruang lengang melenakan.
Kuingat kata-kata Ibu sore tadi. Di beranda tempat kami bisa minum teh seraya menyaksikan kelopak-kelopak mawar. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, sore kali ini menjadi lain. Setelah aku bercerita panjang, akhirnya Ibu berkata keras kepadaku seolah- olah saja ia sedang disengat kalajengking.
”Anak dendang? 1) Kau mau menikahi anak dendang? Apakah Ibu tidak salah dengar?”
Aku menatap bola mata Ibu dalam-dalam. Sebuah danau tenang. Telaga yang tidak pernah kehilangan kasih. Semenjak usia lima tahun, sejak Ayah meninggal karena penyakit yang dideritanya, sejak saat itu pulalah Ibu hanya sendirian membesarkan aku. Anak satu-satunya. Ibu yang kemudiannya melanjutkan bisnis Ayah di bidang konfeksi, memang tidak pernah membiarkan aku hidup kekurangan. Sampai aku besar. Sampai aku menyelesaikan kuliah di fakultas ekonomi. Sampai Ibu lebih mengharapkan aku membantu bisnis konfeksinya daripada melamar pekerjaan lain.
Ah, bola mata itu serasa tak kuat untuk kulawan. bola mata tempat biasanya aku berteduh. Tempat menimba kebahagiaan yang tak pernah kering. Tetapi, bagaimanapun aku harus mencoba untuk menjelaskan.
”Ibu, anak dendang itu juga manusia. Aku telah menyelidiki segala sesuatu tentang dirinya,” ucapku pelan, hati-hati, agar Ibu mengerti.
”Apa yang telah kau ketahui? Tentang ia yang selalu pulang subuh? Pulang dengan lelaki yang selalu bertukar-tukar? Atau kegenitannya merayu laki-laki di pagurawan? 2) ”balas Ibu sengit. Mulai sinis. Tak biasanya Ibu seperti itu.
Telingaku mendadak panas mendengar kalimat Ibu yang amat menyudutkan profesi anak dendang. Hatiku terbakar. Namun, sepuncak upaya aku berusaha untuk bertenang diri dalam kesabaran.
”Cobalah mengerti aku. Tidak semua anak dendang seperti itu. Ibu. Aku telah menyelaminya. Percayalah. Rabina itu perempuan yang baik.”
”O, jadi namanya Rabina?” Ibu memotong.
”Ya. Aku telah selami pribadinya, keluarganya, bahkan latar belakang apa pun saja dari dirinya. Tidak ada yang menggoreskan cela, Ibu. Barangkali kenyataanlah atau keterdesakan kerasnya kehidupan yang memaksanya memilih menjadi anak dendang. Karena hanya kepandaian berdendang itu yang dimilikinya, dan kesempatan seperti itulah yang dapat diraihnya.”
”Ibu tetap tidak setuju!” jawab Ibu betapa kaku.
Banyak lagi yang kucoba jelaskan, tetapi Ibu tetap pada pendiriannya. Bahkan, semakin banyak aku berbicara, kian pedas kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Ibu.
”Perempuan pulang pagi!”
”Hidup tiada ubah bagai musang!”
”Mana ada waktunya mengurus keluarga!”
”Ibu tidak akan pernah setuju!”
Kalimat-kalimat yang terus mengiang. Bersipongang. Menyisik bersama angin malam yang tajam. Menusuk sudut hatiku yang paling lemah. Aku terpojok.
Bayangan-bayangan itu membuatku tanpa terasa telah sampai di jantung kota. Aku duduk di tepi trotoar, dekat sebuah lampu taman. Sebatang rokok kuselai. Asapnya membaur dengan cuaca. Lelapat kudengar tiupan saluang 3) yang ditingkahi dendang 4). Berbuai-buai. Lapik gurau 5) tidak jauh lagi dari trotoar itu. Di sebuah lorong toko yang sudah bertutup. Beralaskan tikar pandan dan dengan sebuah pengeras suara sederhana. Di sanalah saluang tiap malam digelar.
Dan suara itu. Pastilah Rabina yang tengah mendendangkannya. Suara yang sudah teramat kukenal. Akrab. Lekat di kedua belah anak telingaku. Suara yang tiap menit kini mulai menggerayangi kegelisahan. Mengimbau. Lirih. Sayup. Seolah berpitunang. Membentur-bentur pikiran yang kini sulit lepas.
Samar-samar kudengar lagu Palayaran 6) yang sangat kusukai. Bergema melantuni malam. Seolah berlari menjauh menembus cakrawala. Bergendang-gendang. Memukul. Dan berulang- ulang datang.
Aku ingin ke sana. Ingin melihat senyum Rabina. Ingin menikmati rambut panjangnya, bulu matanya, bibirnya. Aku ingin mendengar suaranya lebih dekat. Tetapi, kalimat-kalimat Ibu tadi sore seolah-olah menahan gerak langkahku.
”Tak adakah pilihan yang lebih baik bagi seorang sarjana ekonomi? Untuk menjaga martabat keluarga dari pandangan- pandangan sebelah mata?”
Selalu. Dan masih saja kalimat Ibu menghunjam bagai pisau-pisau yang berlepasan dari udara, berburu ke arahku.
”Mengertilah, Ibu. Apa Ibu percaya bahwa perempuan-perempuan lain pun akan selalu lebih baik daripada anak dendang? Ibu tentu lebih paham sesungguhnya,” jawabku tenang. ”Di samping berdendang, mereka adalah perempuan-perempuan yang berusaha melestarikan kebudayaan. Pewaris, penjaga, dan penerus kesenian nenek moyang kita. Mengapa mereka harus kita sisihkan, kita lecehkan dalam keseharian. Haruskah kita membunuhnya, Ibu? Membiarkan mereka mati di saat mereka berusaha untuk tetap tumbuh. Kurasa Ibu tidak sepicik itu,” terangku lebih panjang. Berharap Ibu tidak tersinggung dengan uraianku.
Tetapi, Ibu tidak lagi menjawab dan meninggalkanku tanpa berkata-kata. Namun, jelas kutangkap dari gelagatnya, Ibu tetap tak sependapat denganku.
Suara itu masih sangat jelas. Dendang yang melirih. Kadang terkesan merintih. Meratapi malam. Dari lagu yang satu ke lagu lain dialunkan untuk memenuhi permintaan demi permintaan rang pagurau 7). Ratok Bonjo 8), Pariaman Panjang 9), Sirompak Taeh 10), Sawah Rawang 11), Tigo Giriak 12), semua bergantian berlayangan menembus udara dan cuaca. Suara Rabina terdengar seolah gambaran sebuah perahu yang terombang-ambing gelombang.
Kuingat pertama kali berkenalan dengan Rabina. Saat mula aku datang ke pagurawan. Sudut matanya yang melirik ke arahku membuatku terpukau. Tiba-tiba serasa ada sesuatu yang tengah datang menyerbu. Memburu dan mengepungku. Kemudian pada malam-malam berikutnya, aku mulai mengikutinya berdendang. Kalau tidak di lorong toko yang sudah bertutup itu, tentulah ia sedang memenuhi undangan di tempat lain. Tidak jarang, sejak singgalang 13) didaki, sampai jalu-jalu 14) dipuhunkan, aku setia menungguinya. Pandangan-pandangan mata kami yang diam-diam saling mencuri seakan telah bercerita banyak dan seperti ingin mengakui bahwa kami telah saling menyukai.
Setelahnya kami mulai terjebak percakapan-percakapan yang hangat. Setiap berdendang pun Rabina mulai menyapaku dalam pantun-pantunnya. Kadang aku merasa malu. Di saat lain aku justru merasa bahagia.
”Ayah dan Ibuku sudah tua. Sudah tidak bisa berbuat apa- apa lagi. Sedangkan ketiga adikku masih sekolah. Untuk itulah aku terpaksa berdendang tiap malam. Hidup memang keras bagi kami. Aku tahu, banyak orang-orang yang punya pandangan miring terhadap pekerjaanku. Tetapi, bagaimana lagi, aku harus membiayai keluargaku. Dan lagi, aku sama sekali tidak pernah berbuat hal-hal yang melanggar norma-norma. Ah, biar sajalah. Bukankah kita punya nasib masing-masing!” demikian bagian dari cerita Rabina kepadaku.
Banyak yang kuketahui ketika aku pun menjadi terbiasa berkunjung ke rumahnya. Sebuah rumah kecil. Nyaris tak mempunyai kelebihan. Hanya gambaran dari keberantakan. Ruang- ruang centang-perenang dan sudut-sudut yang tak rapi. Sebuah keprihatinan dari waktu-waktu yang tak tersisa. Karena setiap malam Rabina berdendang, dan siangnya adalah waktu yang lewat saja di atas ranjang. Istirahat. Untuk bersiap berangkat lagi malam harinya.
”Aku mencintaimu, Rabina. Bolehkah aku mencintaimu?” ucapku ketika satu kali aku mengantarnya pulang setelah selesai berdendang. Jam empat subuh saat itu. Dan Rabina seolah tak percaya. Diam. Menatapku lama-lama. Lalu menunduk.
”Mungkin kamu tak percaya. Tetapi, aku telah mengatakan yang sesungguhnya,” ucapku lagi meyakinkan dirinya.
Rabina mengangkat wajahnya, mencoba menatapku lagi.
”Pulanglah. Sudah hampir pagi. Terima kasih sudah mengantarku pulang,” katanya pelan. ”Aku istirahat dulu ya.”
Berat rasanya. Tetapi, aku mengangguk juga. Lalu pulang meninggalkan rumah Rabina. Meninggalkan sekeping keinginan yang belum tuntas.
Namun, pada malam-malam selanjutnya pantun-pantun Rabina semakin gencar menyerangku. Tentang rindu. Rasa cinta yang cemas. Sebuah kegelisahan terhadap hasrat yang takut bakal tidak sampai. Atau tentang perbedaan-perbedaan status yang membuatnya seolah ragu untuk melangkah.
”Cobalah berpikir kembali. Ukur timbang matang-matang. Kamu akan menyesal memilih orang seperti kami. Anak dendang. Perempuan yang mengekas hidup di tengah malam. Kamu juga tak akan sanggup menepis ocehan orang-orang,” ucap Rabina di pertemuan kami berikutnya. ”Kamu berada di anjungan berukir megah. Sedangkan kami hanya orang kecil yang bermimpi di kaki lima.”
”Jangan berkata seperti itu, Rabina. Aku juga hanya seorang laki-laki biasa yang kini mencintaimu. Mencintaimu, Rabina!” ucapku memegang kedua tangannya. Menatap bola matanya dan berusaha meyakinkannya.
Wajah Rabina mengeruh. Memendung. Tak kuduga, dua garis air bening tetes dari sudut matanya. Bergulir. Jatuh menimpa jemariku. Aku mengusap rambutnya. Membenahi anak-anaknya yang berserakan. Lalu aku mencium keningnya. Lembut. Sepenuh rasa cinta.
”Aku sayang kamu, Rabina!”
Sejak saat itu, Rabina selalu menunggu kedatanganku di setiap ia berdendang. Kegelisahan tak dapat disembunyikannya bila aku belum datang ke pagurawan. Sejak saat itu pula kami mulai melewati hari-hari bersama, tidak hanya ketika ia berdendang saja. Tetapi, pada waktu-waktu tersisa, saat-saat senggang ia tidak ada jadwal undangan, kami akan menikmatinya berdua.
”Pinanglah. Pinanglah aku secepatnya!” ucapnya meminta.
Malam melilit. Aku masih di trotoar itu. Menyelai rokok lagi. Menikmati saluang yang masih berkumandang. Mendengar suara Rabina. Aku ingin ke sana. Ke lapik gurau tempat Rabina berada. Aku ingin mengatakan kepadanya, ”Aku mencintaimu, Rabina. Aku mencintaimu!” Namun, kalimat-kalimat Ibu sore tadi terus memburuku. Membelenggu. Aku ingin memberontak. Ingin berteriak.
Di langit malam, awan-awan diam. Cahaya bintang berkilauan memendar bias. Aku menatapnya. Lama. Lalu aku berjalan. Meninggalkan trotoar itu. Adakah yang lebih berkuasa daripada takdir Tuhan?

sumber:http://cerpenkompas.wordpress.com/2005/10/30/langit-malam/#more-112

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger