Belajar Hidup Santai


Diberdayakan oleh Blogger.
Sebagian Artikel di Blog ini adalah Milik Teman-Teman Bloger, Mohon Maaf Jika Link tidak Disertakan

Jumat, 27 Mei 2011

Selembar Uang 5000

Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”
Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.
“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.
“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.
“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.
“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.
“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”
* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.
“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.
“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.
Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.
“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.
“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.

sumber:http://istanacerpen.co.cc/

Rabu, 11 Mei 2011

SMS Lucu Sekaligus Keren

"
>> suara anak anjing: “…guuwk..guwk…”
>> suara anak ayam : “..kukuuruyuuk…”
>> suara anak kucing: “ngeoong..ngeoong..”
>> suara anak monyet : ………………..
koq diemm ngomong dong nyet..!!!!!!!!!!!!!"


"BRO, IM3 Sekarang bisa TELPON GRATIS ke SEMUA OPERATOR. Caranya: Ketik NO TUJUAN tambahkan 388 Trus dibelakangnya Lampirkan SURAT KETERANGAN MISKIN dari KELURAHAN. he..he"


"
ntr klo lo w bonceng pake motor…
lo pegangan ya ma w…
w takut…..
w takut lo jatoh…
soalnya klo lo ampe jatoh
ntr disangka w buang sampah sembarangan>>
he,he,he…"

"kuakui kamu emang manies
luchu
cantik
ngegemesin
jujur aku suka ma kamu
tapi sayang,aku gak boleh pelihara hewan ma mama aku"


"knpa kamu pergi tinggalkan aku,
aku syang banget ma kamu,
entah ksalahan apa yang telah aku perbuat
akupun tak tahu harus berbuat pa lgi
pdahal,dlu aku hanya………………………..
………..
……………………………………..
……………………………………lupa menutup kandangmu;p "


"maafkanlah daku kekasihku, dengan terpaksa kita harus berpisah, karena ku tak sanggup memenuhi hasrat belanjamu yang luar biasa itu"

"
*PROKLAMASI*
kami bangsa jomblo2 lucu dg ini menyatakan kemerdekaan bercinta. hal2 ygmengenai ditolak, kecewa n sakit hati ditanggapi dg cuek2 aj n mencari target baru dlm tempo yg sesingkat2ny……."

"Nelpon ke semua operator cuma Rp. 100,-/jam mulai jam 06:00 sampai dengan 23:59.
Promo ini berlaku jika TELKOMSEL punya NENEKMU"


"Aku TIdak Cinta UangMu
Aku Tidak Cinta KetampananMu
Aku Tidak Cinta KebaikanMu
Aku Tidak Cinta KecerdasanMu
Karena……
Aku Memang Tidak Cinta Kamu!"

SMS CINTA

Inilah beberapa sms indah tentang cinta yang pernah saya baca, maaf jika sumbernya tidak bisa disebutkan.


"Smlam aq mngirimkan bidadari utk mnjgamu tidur.....
tapi bidadarinya blk lg, ktk aq tanya knp qm blik?..
biddari itu mnjwb: Masa Bidadari jaga Bidadari... "


"Aq tak ingin hbngan qt berakhir Bahagia....
.................................................................
.................................................................
................................................................
Karna aq ingin hbngan qt tdk punya akhir..."


"Andaikan Sejarah cinta ditulis dengan darah, maka biarlah darah ini yang menuliskannya untukmu.
Jika cerita cinta abadi ditulis dengan air mata, maka biarlah air mata ini yang terkuras habis untuk kau jadikan telaga,
Jika pengadilan cinta tak bisa lagi berkata bahwa aku benar2 mencintaimu, maka biarlah pengadilan Tuhan yang bersabda yang akan membisikkan mu dalam hati bahwa Aku mencintaimu dengan Tulus dari dalam hati.."

"Kamu tau gak….?????
Hnya hati yang menerima cinta………..
Hanya pikiran yang menerima kebenaran….
Hanya tangan yang menerima pemberian dan………
HANYA  Aq yang menyayangi yang bisa menerima kamu apa adanya…"

"Ketika hidup memberiku seratus alasan untuk menangis, kau datang membawa seribu alasan untuk tersenyum.”

"ada satu hal yang mau aku tanyain ke kamau.
kamu pernah berpikir bagaimana rasanya
kehilangan seseorang yang kamu sayang?
sedih? Apakah kamu juga akan ngerasain
yang sama, jika yang hilang itu aku?"

Bagi penulis sms di atas lumayan indah, sekarang tinggal penilaian pembaca..

Senin, 02 Mei 2011

Langit Malam

   Detak yang lamban. Seperti kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan diri ke dalam malam. Berjalan di atas lintasan trotoar yang menenggelamkanku ke ruang-ruang lengang melenakan.
Kuingat kata-kata Ibu sore tadi. Di beranda tempat kami bisa minum teh seraya menyaksikan kelopak-kelopak mawar. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, sore kali ini menjadi lain. Setelah aku bercerita panjang, akhirnya Ibu berkata keras kepadaku seolah- olah saja ia sedang disengat kalajengking.
”Anak dendang? 1) Kau mau menikahi anak dendang? Apakah Ibu tidak salah dengar?”
Aku menatap bola mata Ibu dalam-dalam. Sebuah danau tenang. Telaga yang tidak pernah kehilangan kasih. Semenjak usia lima tahun, sejak Ayah meninggal karena penyakit yang dideritanya, sejak saat itu pulalah Ibu hanya sendirian membesarkan aku. Anak satu-satunya. Ibu yang kemudiannya melanjutkan bisnis Ayah di bidang konfeksi, memang tidak pernah membiarkan aku hidup kekurangan. Sampai aku besar. Sampai aku menyelesaikan kuliah di fakultas ekonomi. Sampai Ibu lebih mengharapkan aku membantu bisnis konfeksinya daripada melamar pekerjaan lain.
Ah, bola mata itu serasa tak kuat untuk kulawan. bola mata tempat biasanya aku berteduh. Tempat menimba kebahagiaan yang tak pernah kering. Tetapi, bagaimanapun aku harus mencoba untuk menjelaskan.
”Ibu, anak dendang itu juga manusia. Aku telah menyelidiki segala sesuatu tentang dirinya,” ucapku pelan, hati-hati, agar Ibu mengerti.
”Apa yang telah kau ketahui? Tentang ia yang selalu pulang subuh? Pulang dengan lelaki yang selalu bertukar-tukar? Atau kegenitannya merayu laki-laki di pagurawan? 2) ”balas Ibu sengit. Mulai sinis. Tak biasanya Ibu seperti itu.
Telingaku mendadak panas mendengar kalimat Ibu yang amat menyudutkan profesi anak dendang. Hatiku terbakar. Namun, sepuncak upaya aku berusaha untuk bertenang diri dalam kesabaran.
”Cobalah mengerti aku. Tidak semua anak dendang seperti itu. Ibu. Aku telah menyelaminya. Percayalah. Rabina itu perempuan yang baik.”
”O, jadi namanya Rabina?” Ibu memotong.
”Ya. Aku telah selami pribadinya, keluarganya, bahkan latar belakang apa pun saja dari dirinya. Tidak ada yang menggoreskan cela, Ibu. Barangkali kenyataanlah atau keterdesakan kerasnya kehidupan yang memaksanya memilih menjadi anak dendang. Karena hanya kepandaian berdendang itu yang dimilikinya, dan kesempatan seperti itulah yang dapat diraihnya.”
”Ibu tetap tidak setuju!” jawab Ibu betapa kaku.
Banyak lagi yang kucoba jelaskan, tetapi Ibu tetap pada pendiriannya. Bahkan, semakin banyak aku berbicara, kian pedas kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Ibu.
”Perempuan pulang pagi!”
”Hidup tiada ubah bagai musang!”
”Mana ada waktunya mengurus keluarga!”
”Ibu tidak akan pernah setuju!”
Kalimat-kalimat yang terus mengiang. Bersipongang. Menyisik bersama angin malam yang tajam. Menusuk sudut hatiku yang paling lemah. Aku terpojok.
Bayangan-bayangan itu membuatku tanpa terasa telah sampai di jantung kota. Aku duduk di tepi trotoar, dekat sebuah lampu taman. Sebatang rokok kuselai. Asapnya membaur dengan cuaca. Lelapat kudengar tiupan saluang 3) yang ditingkahi dendang 4). Berbuai-buai. Lapik gurau 5) tidak jauh lagi dari trotoar itu. Di sebuah lorong toko yang sudah bertutup. Beralaskan tikar pandan dan dengan sebuah pengeras suara sederhana. Di sanalah saluang tiap malam digelar.
Dan suara itu. Pastilah Rabina yang tengah mendendangkannya. Suara yang sudah teramat kukenal. Akrab. Lekat di kedua belah anak telingaku. Suara yang tiap menit kini mulai menggerayangi kegelisahan. Mengimbau. Lirih. Sayup. Seolah berpitunang. Membentur-bentur pikiran yang kini sulit lepas.
Samar-samar kudengar lagu Palayaran 6) yang sangat kusukai. Bergema melantuni malam. Seolah berlari menjauh menembus cakrawala. Bergendang-gendang. Memukul. Dan berulang- ulang datang.
Aku ingin ke sana. Ingin melihat senyum Rabina. Ingin menikmati rambut panjangnya, bulu matanya, bibirnya. Aku ingin mendengar suaranya lebih dekat. Tetapi, kalimat-kalimat Ibu tadi sore seolah-olah menahan gerak langkahku.
”Tak adakah pilihan yang lebih baik bagi seorang sarjana ekonomi? Untuk menjaga martabat keluarga dari pandangan- pandangan sebelah mata?”
Selalu. Dan masih saja kalimat Ibu menghunjam bagai pisau-pisau yang berlepasan dari udara, berburu ke arahku.
”Mengertilah, Ibu. Apa Ibu percaya bahwa perempuan-perempuan lain pun akan selalu lebih baik daripada anak dendang? Ibu tentu lebih paham sesungguhnya,” jawabku tenang. ”Di samping berdendang, mereka adalah perempuan-perempuan yang berusaha melestarikan kebudayaan. Pewaris, penjaga, dan penerus kesenian nenek moyang kita. Mengapa mereka harus kita sisihkan, kita lecehkan dalam keseharian. Haruskah kita membunuhnya, Ibu? Membiarkan mereka mati di saat mereka berusaha untuk tetap tumbuh. Kurasa Ibu tidak sepicik itu,” terangku lebih panjang. Berharap Ibu tidak tersinggung dengan uraianku.
Tetapi, Ibu tidak lagi menjawab dan meninggalkanku tanpa berkata-kata. Namun, jelas kutangkap dari gelagatnya, Ibu tetap tak sependapat denganku.
Suara itu masih sangat jelas. Dendang yang melirih. Kadang terkesan merintih. Meratapi malam. Dari lagu yang satu ke lagu lain dialunkan untuk memenuhi permintaan demi permintaan rang pagurau 7). Ratok Bonjo 8), Pariaman Panjang 9), Sirompak Taeh 10), Sawah Rawang 11), Tigo Giriak 12), semua bergantian berlayangan menembus udara dan cuaca. Suara Rabina terdengar seolah gambaran sebuah perahu yang terombang-ambing gelombang.
Kuingat pertama kali berkenalan dengan Rabina. Saat mula aku datang ke pagurawan. Sudut matanya yang melirik ke arahku membuatku terpukau. Tiba-tiba serasa ada sesuatu yang tengah datang menyerbu. Memburu dan mengepungku. Kemudian pada malam-malam berikutnya, aku mulai mengikutinya berdendang. Kalau tidak di lorong toko yang sudah bertutup itu, tentulah ia sedang memenuhi undangan di tempat lain. Tidak jarang, sejak singgalang 13) didaki, sampai jalu-jalu 14) dipuhunkan, aku setia menungguinya. Pandangan-pandangan mata kami yang diam-diam saling mencuri seakan telah bercerita banyak dan seperti ingin mengakui bahwa kami telah saling menyukai.
Setelahnya kami mulai terjebak percakapan-percakapan yang hangat. Setiap berdendang pun Rabina mulai menyapaku dalam pantun-pantunnya. Kadang aku merasa malu. Di saat lain aku justru merasa bahagia.
”Ayah dan Ibuku sudah tua. Sudah tidak bisa berbuat apa- apa lagi. Sedangkan ketiga adikku masih sekolah. Untuk itulah aku terpaksa berdendang tiap malam. Hidup memang keras bagi kami. Aku tahu, banyak orang-orang yang punya pandangan miring terhadap pekerjaanku. Tetapi, bagaimana lagi, aku harus membiayai keluargaku. Dan lagi, aku sama sekali tidak pernah berbuat hal-hal yang melanggar norma-norma. Ah, biar sajalah. Bukankah kita punya nasib masing-masing!” demikian bagian dari cerita Rabina kepadaku.
Banyak yang kuketahui ketika aku pun menjadi terbiasa berkunjung ke rumahnya. Sebuah rumah kecil. Nyaris tak mempunyai kelebihan. Hanya gambaran dari keberantakan. Ruang- ruang centang-perenang dan sudut-sudut yang tak rapi. Sebuah keprihatinan dari waktu-waktu yang tak tersisa. Karena setiap malam Rabina berdendang, dan siangnya adalah waktu yang lewat saja di atas ranjang. Istirahat. Untuk bersiap berangkat lagi malam harinya.
”Aku mencintaimu, Rabina. Bolehkah aku mencintaimu?” ucapku ketika satu kali aku mengantarnya pulang setelah selesai berdendang. Jam empat subuh saat itu. Dan Rabina seolah tak percaya. Diam. Menatapku lama-lama. Lalu menunduk.
”Mungkin kamu tak percaya. Tetapi, aku telah mengatakan yang sesungguhnya,” ucapku lagi meyakinkan dirinya.
Rabina mengangkat wajahnya, mencoba menatapku lagi.
”Pulanglah. Sudah hampir pagi. Terima kasih sudah mengantarku pulang,” katanya pelan. ”Aku istirahat dulu ya.”
Berat rasanya. Tetapi, aku mengangguk juga. Lalu pulang meninggalkan rumah Rabina. Meninggalkan sekeping keinginan yang belum tuntas.
Namun, pada malam-malam selanjutnya pantun-pantun Rabina semakin gencar menyerangku. Tentang rindu. Rasa cinta yang cemas. Sebuah kegelisahan terhadap hasrat yang takut bakal tidak sampai. Atau tentang perbedaan-perbedaan status yang membuatnya seolah ragu untuk melangkah.
”Cobalah berpikir kembali. Ukur timbang matang-matang. Kamu akan menyesal memilih orang seperti kami. Anak dendang. Perempuan yang mengekas hidup di tengah malam. Kamu juga tak akan sanggup menepis ocehan orang-orang,” ucap Rabina di pertemuan kami berikutnya. ”Kamu berada di anjungan berukir megah. Sedangkan kami hanya orang kecil yang bermimpi di kaki lima.”
”Jangan berkata seperti itu, Rabina. Aku juga hanya seorang laki-laki biasa yang kini mencintaimu. Mencintaimu, Rabina!” ucapku memegang kedua tangannya. Menatap bola matanya dan berusaha meyakinkannya.
Wajah Rabina mengeruh. Memendung. Tak kuduga, dua garis air bening tetes dari sudut matanya. Bergulir. Jatuh menimpa jemariku. Aku mengusap rambutnya. Membenahi anak-anaknya yang berserakan. Lalu aku mencium keningnya. Lembut. Sepenuh rasa cinta.
”Aku sayang kamu, Rabina!”
Sejak saat itu, Rabina selalu menunggu kedatanganku di setiap ia berdendang. Kegelisahan tak dapat disembunyikannya bila aku belum datang ke pagurawan. Sejak saat itu pula kami mulai melewati hari-hari bersama, tidak hanya ketika ia berdendang saja. Tetapi, pada waktu-waktu tersisa, saat-saat senggang ia tidak ada jadwal undangan, kami akan menikmatinya berdua.
”Pinanglah. Pinanglah aku secepatnya!” ucapnya meminta.
Malam melilit. Aku masih di trotoar itu. Menyelai rokok lagi. Menikmati saluang yang masih berkumandang. Mendengar suara Rabina. Aku ingin ke sana. Ke lapik gurau tempat Rabina berada. Aku ingin mengatakan kepadanya, ”Aku mencintaimu, Rabina. Aku mencintaimu!” Namun, kalimat-kalimat Ibu sore tadi terus memburuku. Membelenggu. Aku ingin memberontak. Ingin berteriak.
Di langit malam, awan-awan diam. Cahaya bintang berkilauan memendar bias. Aku menatapnya. Lama. Lalu aku berjalan. Meninggalkan trotoar itu. Adakah yang lebih berkuasa daripada takdir Tuhan?

sumber:http://cerpenkompas.wordpress.com/2005/10/30/langit-malam/#more-112

 
Powered by Blogger